Ia kemudian dititipkan pada kakeknya dari pihak ayah. Namun itu belum menyelamatkannya. Ketika ingin sekolah saat usianya sudah menginjak tujuh tahun, ayahnya takmau membiayainya. Ia tak bisa mengandalkan kakeknya yang sudah tua renta. Akhirnya ia gagal sekolah. "Saya belajar menulis di tembok menggunakan arang," ujarnya. Ia lalu jadi penggembala kambing.
Mengetahui hal ini, ibunya berang. Ia meminta Ozer pergi saja ke kota (Ankara) dan mencari pekerjaan yang lebih baik di sana. Saat itu Ozer sudah berusia belasan. Ia pun pergi dengan meminjam uang dari rentenir. Awalnya ia hidup menggelandang. Bahkan jika malam tiba, ia tidur di toilet umum. Nasibnya sedikit berubah ketika diterima bekerja di sebuah bar. Ia bisa menyewa tempat lebih baik, yaitu gudang tempat penyimpanan batu bara, itupun hanya untuk tidur. Yang menarik, ia terobsesi ingin belajar terutama bahasa Inggris. Gaji pertamanya ia belikan buku-buku. Setelah itu ikut les bahasa Inggris di Ankara dengan uang yang dikumpulkannya.
Karena bergaul dengan anak-anak jalanan, Ozer terpikirkan untuk mengangkat nasib mereka dengan pendidikan. Dari gajinya yang tak seberapa ia membuat perkumpulan pendidikan anak jalanan. Belakangan perkumpulan itu mendapat banyak perhatian dan dukungan keuangan dari sana-sini. Karena idenya dari Ozer, lembaga itu kelak bernama Hüseyin Özer Education Trust.
Ia sendiri kemudian pergi ke Istanbul mengikuti wajib militer. Selesai tugas beberapa tahun kemudian, saat usianya menginjak 23 tahun, ia pergi ke London menggunakan bis untuk memperdalam bahasa Inggris. "Saya tak punya uang untuk beli tiket pesawat terbang," katanya. Untuk menyambung hidup ia bekerja di sebuah restoran. Ia memilih menjadi pencuci piring ketimbang pelayan karena bahasa Inggrisnya yang belepotan. Namun itu justru menolongnya untuk mempelajari pekerjaan dapur.
Setelah itu bekerja sebagai penjual kebab (makanan khas Turki). Lama-lama ia bisa mengumpulkan modal untuk memiliki gerai kebab sendiri. Bahkan melalui ketekunannya ia bisa menyewa tempat berjualan kebab lebih baik. Caranya ia berhemat sampai bisa membesarkan bisnisnya menjadi restoran.
"Saya beberapa kali bangkrut. Tapi saya terus mencoba lagi dan mencoba lagi," katanya. Ia tak takut bangkrut, juga tak jemu untuk memulai bisnisnya jika gagal. Pilihannya cuma satu, bisnis restoran. Akhirnya ia bisa melahirkan restoran yang lumayan besar. Dan untuk menjadikannya restoran bergengsi, Ozer mempekerjakan sejumlah ahli makanan dan racikan makanan yang lezat hasil penemuannya selama beberapa tahun.
Ozer, di dapur rumah makannya
Sekarang Ozer memiliki belasan restoran di London dan beberapa restoran mitranya di sejumlah negara. Meski sukses sebagai pengusaha restoran, ia tetap terobsesi menularkan keahliannya dengan berbagai cara. Ia ingat masa kecilnya yang sulit sekolah karena itu ia membalas masa lalunya dengan berbagi ilmu pada semua orang. Ia mengajarkan pada karyawannya bagaimana berbisnis restoran dan mendorongnya agar kelak menjadi pengusaha. "Banyak mantan karyawan saya yang sudah mahir kembali ke Turki dan membuka restoran di sana," katanya. Ada juga yang membuka restoran dengan menu yang mirip dengan yang ada di restoran milik Ozer, Sofra. Ia tak takut tersaingi justru merasa bangga. "Saya sudah menciptakan 20-an millionaire," ujarnya senang.
Soal semangat mendidiknya ini kemudian didengar sejumlah universitas. Universitas di Inggris datang kepadanya untuk belajar kuliner atau berbisnis restoran bagi mahasiswanya. "Saya ikut mendidik di universitas. Tetapi saya tak datang ke universitas, justru universitas yang datang ke sini," ujarnya. "Mahasiswa-mahasiswa saya mendapatkan pekerjaan di sini, mendapatkan uang juga, dan makannya di restoran," katanya.
Ozer yang tak sekolah akhirnya sukses menjadi pebisnis restoran di London dan diakui dunia. Anak kampung ini berhasil mengembangkan potensinya dari pilihan yang sempit. Ia tak bisa menyesali masa kecilnya yang tak bisa belajar. Ia justru terus maju ke depan menjalani langkah demi langkah yang sulit. "Saya maju karena saya memilih pilihan yang sulit," katanya. Dan belajar itulah senjatanya. Ia belajar dari apa yang ditemuinya. Hal ini yang mengantarkannya hingga kemudian sukses.